REVOLUSI ILMU ALAM DAN ILMU SOSIAL DALAM SUATU PEMBAHASAN EMITEN
Oleh :
Oleh :
R.M.H. Setyo Budi
Latto, Lc., A.Md. Engl., BSc., S.Kom. MBO
R.M.H. Muhammad Rully, Lc., A.Md. Latin., BSc., S.H., MBO
Lembaga Masyarakat Peduli Kualitas (NGO / Foundation)
POPI/DE (Foundation)
P3IDE / CCI (NGO)
Dimulai jaman Kayu-Batu-Besi-Nuklir-Industri-Informasi-Not-Lot. Dimanakah strata keilmuan kita masih berdiri?. Saat ini perang dengan situasi seluruh
jaringan listrik, telepon, internet hancur dan mati di lima (5) benua, hanya
tinggal satu jalan menuju Perdamaian Dunia dan menjalin hubungan baik dengan
saudara kita di lima (5) maupun pihak – pihak perlindungan luar
negeri melalui INI dan ITU. Melalui inisiatif itulah upaya pencegahan
dilakukan oleh Inovator muda dan belia kami, yang sangat menjiwai
budaya Jawa dan Indonesia. Sangat berbeda dengan Talk Fushion,
Facebooks, Twitter, Friendster, kami beri nama misi pengembangan ROSTER tersebut Newkey Robotic immortal (NRi) dalam Port Server Motorik (PSM) titik beku syarat Makhluk organ dan Utusan (MoU) dengan tujuannya sederhana yaitu “Komunikasi dalam Hubungan International”.
Data kami menunjukkan <10 tahun kedepan Talk Fushion, Facebooks, Twitter akan bernasip seperti Friendster hilang sama sekali / musnah karena Makhluk organ Utusan mencapai titik jenuhnya.
Hukum Prinsip "Sesuatu yang Mudah diperoleh maka Mudah Hilang". (KaizenMeiji 1724).
Selama bertahun –
tahun, ilmu – ilmu sosial telah menjadi arena bagi sejumlah kritik
; di mana kritik yang dikemukakan adalah bermacam – macam, mulai
dari keraguan tentang kegiatan ahli ilmu – ilmu sosial karena “ilmu
– ilmu sosial adalah tidak mungkin” sampai kepada rasa ngeri
terhadap kegiatan ahli ilmu – ilmu sosial karena “terlalu banyak
pengetahuan sosial akan membahayakan kebebasan manusia”. Pembahasan
ini akan mencoba memberikan penilaian terhadap beberapa pokok
permasalahan yang penting yang disuarakan oleh para kritikus yang
ragu – ragu terhadap status keilmuan dari ilmu – ilmu sosial.
Marilah kita mulai dengan
mempelajari argumentasi dari mereka yang berpendapat bahwa gejala
sosial adalah terlalu rumit untuk diselidiki secara keilmuan, suatu
kritik yang kadang – kadang dimulai dengan suatu pendapat bahwa
hukum ilmu – ilmu sosial, jika memang ada, paling jauh hanya berupa
“semata – mata kemungkinan (probabilistik)”. Kadang orang
menganggap bahwa kegagalan ahli ilmu – ilmu sosial dalam menerapkan
hukum yang non – probabilistik adalah disebabkan oleh rumitnya
gejala yang harus dihadapinya, suatu hal yang kontras sekali bila
dibandingkan dengan bidang keilmuan dari disiplin – disiplin lain
yang lebih beruntung. Adakah dasar bagi kritik ini?
Sebenarnya kritik ini
agak sukar untuk dinilai karena beberapa kritikus yang melontarkannya
mempunyai pendapat yang berbeda – beda. Sebagai contoh, beberapa
kritikus tidak saja menyerang rumitnya gejala social sebagai dasar
untuk menyimpulkan bahwa ilmu – ilmu sosial adalah tidak mungkin,
namun juga menyerang semua ilmu yang menurut mereka adalah tidak
mungkin karena rumitnya semua gejala. Dalam hal ini maka bukan saja
perilaku manusia yang terlalu kompleks “untuk ditangkap” atau
diterangkan oleh ilmu namun juga termasuk di dalamnya bidang –
bidang yang bukan sosial, seperti liku – liku dari pola sehelai
daun, permainan cahaya dan bayang – bayang di tengah padang rumput
pada suatu petang yang redup, mengalirnya secara perlahan suatu anak
sungai – pada kenyataannya mencakup semua gejala fisika dan biologi
– di mana eksistensi mereka yang rumit dan unik tak mungkin untuk
dikotak – kotakkan secara keilmuan tanpa memutarbalikkan keadaan
yang sebenarnya. Ada baiknya untuk meninggalkan thesis tersebut
sebelum mempelajari tuduhan yang serupa yang hanya menempatkan ilmu –
ilmu sosial dalam suatu kedudukan yang tak menyenangkan ini.
Ternyata bahwa baik
argumentasi mengenai ketidakmungkinan semua ilmu maupun ilmu social
ditinjau dari segi deskripsi yang kasar, keunikan obyek, abstraksi,
pemutarbalikan penelaahan keilmuan dan ketidakmampuan salah tentang
hakekat ilmu.
Kesalahan tentang Hakekat
Ilmu
Kesalahan di sini dimulai
dengan salah pengertian mengenai apa yang dinamakan ilmu dan apa yang
dikerjakannya. Kesalahan dalam menjawab pertanyaan ini adalah
demikian asasi, sebenarnya sukar untuk percaya bahwa orang akan
membuat kesalahan ini, di mana terdapat anggapan bahwa fungsi ilmu
adalah mereproduksikan kenyataan, dan oleh sebab itu maka ilmu yang
tidak berhasil melakukannya adalah ilmu yang gagal. Pada hakekatnya
kesalahan ini terletak pada kekacauan antara sebuah deskripsi dengan
apa yang dideskripsikan. Albert Einstein pernah mengemukakan bahwa
bukanlah fungsi ilmu untuk “memberikan rasa lezat semangkuk sup”.
Suatu deskripsi tentang kelezatan sup jelas bukanlah kelezatan sup
itu sendiri. Bila dipikirkan lebih jauh kiranya tak terdapat alas an
apa pun bagi kita untuk menganggap bahwa suatu deskripsi tentang
sifat – sifat semangkuk haruslah mempunyai rasa seperti sup itu
sendiri. Sungguh pun demikian tuntutan seperti ini terdapat ilmu
menimbulkan kekacauan yang mengejutkan. Tentu saja, jika kita cukup
cerdas dan beruntung, dan mengkaji dengan akal sehat informasi yang
terkandung dalam pernyataan keilmuan, maka deskripsi ilmu mendudukkan
kita pada sebuah posisi yang memungkinkan kita mampu untuk mengecap
rasa sup. Namun hal ini amat berbeda dengan tuduhan bahwa pernyataan
– pernyataan ilmu (yang berhubungan dengan rasa sup) adalah kurang
sempurna, atau sampai batas – batas tertentu adalah gagal, karena
mereka tidak mempunyai rasa seperti sup.
Suatu kekacauan lain yang
ada kaitannya dengan hal ini, namun tidak terlalu menonjol, adalah
kekacauan tentang sifat dan fungsi dari ilmu, dimana terdapat
anggapan bahwa fungsi ilmu bukan saja untuk memproduksi alam secara
harfiah, namun juga bahwa pernyataan keilmuan harus membawakan
pengalaman yang sama. Terdapat anggapan bahwa kegiatan – kegiatan
tersebut merupakan fungsi seni – puisi atau seni lukis – dan
fungsi itu tidak sesuai dengan perumusan keilmuan, dimana
penggambaran pengalaman seperti ini adalah tidak cocok dengan
penggunaannya dalam meramalkan, menjelaskan dan fungsi – fungsi
keilmuan lainnya. Jadi, dasar tuduhan bahwa “kenyataan adalah
terlalu rumit untuk ditangkap” adalah terletak pada kekacauan
tentang pernyataan keilmuan dalam hubungan dengan apa yang
dideskripsikan dalam dunia sebenarnya, dan oleh sebab itu tuduhan ini
tak dapat diterima. Suatu kesalahan yang asasi yang disebabkan salah
pengertian tentang hakekat dan fungsi pernyataan keilmuan.
Tuduhan Terhadap Ilmu –
Ilmu Sosial
Tuduhan terhadap ilmu –
ilmu social yang dianggap gagal dalam menangkap (yakni memproduksikan
atau memberikan gambaran psikologis yang ekuivalen) gelak tertawa
seorang bayi yang bermain – main dengan orang tuanya, kebimbangan
yang sendu dari seorang remaja, keunikan interaksi sosial dari sebuah
rapat Dewan Direktur atau perjamuan tidak resmi, sering sekali
didasarkan pada kegagalan dalam membedakan antara pernyataan beserta
sistematika yang dipakainya dengan gejala sosial yang dinyatakan oleh
pernyataan tersebut.
Namun tidak semua
argumentasi tentang kerumitan gejala sosial yang menyebabkan
ketidakmungkinan ilmu – ilmu sosial (atau suatu ilmu sosial yang
metodologinya adalah sama dengan ilmu – ilmu yang lainnya)
berdasarkan anggapan di atas. Rangkaian argumentasi yang lain
didasarkan pada tuduhan bahwa metode keilmuan tidak mampu untuk
menangkap “keunikan” gejala sosial dan manusiawi. Karena penelaah
– penelaah sosial tertarik kepada keunikan tiap – tiap kejadian
sosial, padahal metode keilmuan hanya mampu mensistematikan
berdasarkan generalisasi, maka keadaan ini menyebabkan harus
diterapkannya metode yang lain dalam ilmu – ilmu sosial.
Untuk menentukan sejauh
mana argumentasi semacam ini mampu meyakinkan kita maka pertama –
tama haruslah ditanyakan dulu kepada diri kita sendiri apa yang
diartikan dengan unik dan istilah – istilah yang serupa dalam
lingkup ini. Kiranya jelas bahwa suatu bentuk adalah unik secara
hakiki, jika dan hanya jika, tidak terdapat bentuk – bentuk lain
yang mempunyai sifat – sifat yang sama. Jadi dari setiap dua benda
yang berbeda A dan B, akan terdapat paling tidak satu sifat yang
dipunyai yang satu namun tidak dipunyai oleh yang lainnya. Ini
bukanlah semata – mata suatu tentang penemuan fakta ; ini adalah
suatu masalah logika, karena ini merupakan bagian dari apa yang
dimaksud dengan mengatakan bahwa bentuk – bentuk adalah berbeda
atau tidak identik.
Kesimpulan akhir dari
uraian di atas adalah bahwa tiap – tiap bentuk adalah berbeda dari
bentuk – bentuk lainnya, yakni tidak terdapat dua bentuk yang
identik, karena jika mereka identik maka mereka tidak akan berjumlah
dua. Konsekuensinya adalah bahwa semua gejala, dan bukan semata –
mata gejala ilmu – ilmu sosial adalah unik. Lebih lanjut dapat kita
katakan bahwa jika anggapan mengenai keunikan adalah seperti apa yang
diuraikan di atas, maka bukan hanya ilmu – ilmu sosial namun semua
ilmu adalah tidak mungkin. Karena jelas, dalam pengertian ini, setiap
gejala fisik adalah “sama uniknya” seperti gejala atau bentuk
sosial. Selaras dengan itu maka argumentasi berdasarkan pengertian
keunikan ini tidak mendukung sama sekali suatu pandangan bahwa harus
terdapat perceraian yang radikal antara metodologi ilmu – ilmu
sosial dan non – sosial.
Tentang Pemunculan
(Emergentisme)
Erat hubungannya dengan
argumentasi tentang harus adanya suatu perbedaan radikal dalam
metodologi terdapat anggapan yang lebih maju yakni argumentasi
mengenai pemunculan. Kaum emergentis sering berpendapat lebih
moderat, di mana menurut mereka terdapat beberapa gejala sosial (dan
juga, beberapa gejala fisik dan biologi), namun tidak seluruhnya,
yang tidak dapat diteliti secara keilmuan, sejauh penelitian ini
menyangkut hukum sebab akibat. Keraguan ini kadang – kadang
didasarkan pada suatu thesis khusus – yakni thesis tentang
pemunculan mutlak yang mengemukakan kepercayaan bahwa beberapa
peristiwa, pada prinsipnya, adalah tidak dapat diramalkan (atau dengan
perkataan lain, terdapat peristiwa – peristiwa yang peramalannya
secara logis adalah tidak mungkin), karena mereka tidak dihubungkan
dengan peristiwa – peristiwa lainnya dalam suatu bentuk yang berupa
hukum. Di pihak lain, thesis pemunculan relatif mengemukakan bahwa
disebabkan keadaan – keadaan tertentu (seperti tingkat perkembangan
teknologi atau pengetahuan kita, atau tidak terjangkaunya gejala oleh
pengamatan kita pada suatu waktu tertentu), secara teknis adalah
tidak mungkin untuk meramalkan peristiwa – peristiwa tertentu.
Meskipun thesis tentang
pemunculan relatif kebenarannya tidak lagi diragukan namun hal ini
tidaklah berarti bahwa setiap gejala sosial tertutup bagi
penyelidikan dengan menggunakan metode keilmuan. Karena dalam thesis
pemunculan mutlak, suatu thesis yang berdalil bahwa metode keilmuan
sama sekali tak dapat diterapkan, tidak mempunyai bukti yang
mendukungnya. Thesis ini adalah sangat asasi. Untuk menyusun thesis
tersebut maka seseorang bukan saja harus membuktikan bahwa tidak ada
hipotesis yang serupa yang telah dirumuskan yang diterapkan pada
peristiwa yang disangka muncul tersebut, atau takkan terdapat suatu
hipotesis apa pun yang akan dirumuskan di masa mendatang, namun juga
ia harus membuktikan bahwa secara logis tidak mungkin untuk
merumuskan hipotesis semacam itu. Dalam hal ini pendukung –
pendukung thesis tersebut belum dapat memberikan bukti – bukti
tersebut dan sebenarnya sukar untuk dibayangkan bagaimana bukti -
bukti tersebut dapat diberikan. Sejarah ilmu telah mempunyai contoh
di mana beberapa kejadian dianggap sebagai suatu pemunculan mutlak,
di mana kemudian terbukti bahwa hal ini tidaklah bersifat luar biasa,
yang merupakan kekecualian dari pola kejadian – kejadian yang
biasa.
Verstehen
Tak ada diskusi yang
sungguh – sungguh tentang tuduhan bahwa gejala sosial tidak dapat
dicakup oleh penyelidikan keilmuan tanpa pertama – tama membahas
apa yang dinamakan Verstehen atau pengertian yang mendalam. Seperti
dalam hal di atas maka pendukung thesis ini berpendapat bahwa
metodologi ilmu – ilmu sosial haruslah berbeda secara radikal
dengan ilmu – ilmu yang lainnya.
Dalam mengkaji masalah
ini adalah penting untuk membedakan dengan jelas dalam pikiran kita
antara pengertian metodologi dengan teknik, antara pengesyahan dan
penemuan. Masalah di sini bukanlah persoalan apakah dengan
tercapainya suatu pengertian yang mendalam tentang beberapa pokok
persoalan (di mana hal ini mungkin gambaran dengan jalan “menempatkan
diri kita pada kedudukan obyek yang ditelaah”) adalah berguna, atau
apakah Verstehen merupakan teknik dalam menemukan dan hipotesis.
Masalah juga bukan persoalan apakah teknik – teknik penemuan sepeti
itu adalah khusus bagi ilmu – ilmu sosial.
Masalah yang sebenarnya
adalah apakah Verstehen merupakan metode yang dapat diandalkan dalam
proses pengesyahan hipotesis gejala sosial. Pertanyaan ini sebaiknya
ditinjau dalam dua tahap. Pertama, dalam pengertian apa, jika memang
ada, bahwa Verstehen adalah suatu metode pengesyahan? Kedua, apakah
memang Verstehen merupakan metodologi yang penting hanya bagi ilmu –
ilmu sosial itu sendiri?
Berkenaan dengan
pertanyaan pertama kiranya jelas bahwa beberapa kali metodologi ilmu
– ilmu sosial berpendapat bahwa tujuan dari penelaahan sosial
adalah untuk mendapatkan pengertian yang mendalam dari gejala –
gejala yang sedang diselidiki, di mana hal ini dapat dicapai dan
disyahkan baik dengan Verstehen maupun dengan cara berpartisipasi
dari penyelidik. Dalam hubungan ini terdapat pendapat bahwa thesis
ini harus dikaitkan dengan pernyataan bahwa kegiatan sosial mempunyai
makna atau arti di mana hipotesis tentang makna tersebut dapat
disyahkan dengan Verstehen.
Max Weber dan ahli –
ahli lainnya yang mendukung pendapat tentang pengertian yang mendalam
beranggapan bahwa untuk sampai pada suatu pengertian yang diperlukan
dalam ilmu – ilmu sosial, katakanlah umpamanya tentang para martir
keagamaan, maka hal ini haruslah lewat pengertian para martir
tersebut. Untuk memahami sedalam – dalamnya tentang martir dan
untuk mengesyahkan hipotesis tentang martir dalam lingkup sosial
budaya mereka, jika kita ingin menangkap apakah arti semua ini bagi
para martir, maka kita harus membayangkan kita sendiri sebagai martir
atau menciptakan kembali keadaan psikologi para martir tersebut,
untuk sampai pada pengertian dan bahkan pengesyahan yang diperlukan
(Untuk Weber dan ahli – ahli lainnya, metode ini bukan saja
merupakan suatu metode namun metode satu – satunya untuk mencapai
tujuan tersebut. Lebih lanjut disebutkan bahwa metode ini adalah khas
bagi ilmu – ilmu sosial karena sifat yang hakiki dari ilmu – ilmu
tersebut).
Penjelasan di atas
kiranya dapat memberi gambaran tentang pendapat mengenai pengertian
yang mendalam. Sekarang marilah kita mengkaji anggapan – anggapan
tersebut. Sekarang marilah kita mengkaji anggapan – anggapan
tersebut. Pertama sekali, hakekat tentang “pengertian” dalam
lingkup ini pun masih samar, terlebih lagi terdapat keanehan lain
dari thesis ini yang kurang meyakinkan. Pertanyaan yang timbul dalam
pemikiran kita adalah : Faktor penguji apa yang dipunyai untuk
mengesyahkan bahwa pengertian yang di dapat secara menempatkan diri
kita pada suatu kejadian tertentu dapat dipercaya? Di sini kita usah
memperdebatkan apakah kita setuju atau tidak terhadap metode ini,
atau meninggalkannya sebagai metode pengesyahan, namun yang jelas
bahwa untuk menerima sesuatu yang diajukan dengan metode ini sebagai
sesuatu yang syah, maka sebelumnya kita harus menganggap bahwa
terdapat suatu penyelidikan yang mengemukakan hipotesis yang kemudian
akan disyahkan kebenarannya. Pendek kata, dalam rangka untuk
memberikan dasar yang dapat diandalkan untuk menolak atau menerima
hipotesis suatu kejadian yang sedang diselidiki, maka kita harus
menyusun secara terpisah suatu gambaran sebelumnya tentang apa yang
akan terjadi.
Namun bagaimana kita
dapat menyusun secara terpisah suatu gambaran yang dapat dipercaya
tanpa adanya pengetahuan sebelumnya (yakni tanpa menerima terlebih
dulu sebuah hipotesis tentang sifat – sifat) dari keadaan
psikologis obyek yang sedang diselidiki? Dan jika kita memang telah
mempunyai pengetahuan semacam ini (yakni bahwa kita memang telah
mempunyai pengetahuan semacam ini (yakni bahwa kita telah menerima
sebuah hipotesis tentang hakekat psikologis obyek yang diselidiki)
lalu apa lagi yang diperlukan secara metodologis? Jika konfirmasi
lebih lanjut ternyata bahwa hipotesis tentang psikologis obyek yang
diselidiki adalah sama, maka dalam hal ini berarti bahwa secara logis
terdapat beberapa cara yang lain, yang terpisah dari metode
Verstehen, untuk mendapatkan pengetahuan tersebut.
Kiranya jelas bahwa
argumentasi di atas akan dapat menjawab pertanyaan yang pertama dan
kedua mengenai pengertian yang mendalam. Jawaban terhadap pertanyaan
pertama adalah bahwa jika kita menyingkirkan kesulitan dalam
mendefinisikan pengertian seperti “penuh arti” dan “pengertian”
maka kita bisa menerima Verstehen sebagai suatu metode pengesyahan
untuk memperkuat kasus – kasus di mana pengujiannya telah dilakukan
secara terpisah. Jawaban terhadap pertanyaan kedua adalah bawah
Verstehen bukanlah metode satu – satunya dalam ilmu – ilmu
sosial. Cara penggunaan metode Verstehen tersebut mengharuskan adanya
metode lain untuk mengesyahkan hipotesis yang dipergunakannya yang
selanjutnya ingin disyahkan dengan mempergunakan Verstehen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar