KUALITAS KARKAS DAN DAGING YANG DIKONSUMSI
Oleh : DR. Dr. Hc. Ir. Hazhi Nuky Rusianto, Lc., A.Md., SE., S.KH., drh (DVM)., WR., ISI., WD., MBO
R/ Doctor Honoris Causa Perancis, Afrika, Inggris, Australia, China, Jepang, India, Korea dan Amerika
Setelah secara permanen menetapkan mutasi 1.724 Bill of Lading per tahun terhadap semua kegiatan bandara dan pengapalan semua komoditinya, berkibarlah 3 bendera (Perubahan Resmi (PR)) dan bersinarlah 1 bintang (Perubahan Sejati (PS)) kemajuan yang akan terus menyinari kami sebagai diri kami sendiri untuk memperkuat JATI DIRI keluarga.
Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi daging antara lain adalah ;
Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi daging antara lain adalah ;
1.Genetik,
2.Spesies,
3.Bangsa,
4.Tipe ternak,
5.Jenis kelamin,
6.Umur,
7.Pakan termasuk aditif (hormon, antibiotik dan mineral), dan
8.stres.
Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging anatara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotik, lemak intramuskular atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot daging.
Pada dasarnya, kualitas karkas adalah nilai karkas yang dihasilkan oleh ternak relatif terhadap suatu kondisi pemasaran. Faktor yang menentukan nilai karkas meliputi berat karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas daging dari karkas yang bersangkutan. Nilai karkas dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin atau tipe ternak yang menghasilkan karkas, umur atau kedewasaan ternak, dan jumlah lemak intramuskular atau marbling di dalam otot. Faktor nilai karkas dapat diukur secara objektif yaitu absolut, misalnya berat karkas dan daging, dan secara subjektif, misalnya dengan pengujian organoleptik atau metode panel. Disamping kualitas (nilai) karkas, juga dikenal kualitas hasil, yaitu estimasi jumlah daging yang dihasilkan dari suatu karkas.
Faktor kualitas daging yang dimakan terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau dan cita rasa dan kasan jus daging (juiciness). Disamping itu, lemak intramuskular, susut masak (cooking loss) yaitu berat sampel daging yang hilang selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan dan pH daging, ikut menentukan kualitas daging.
ESTIMASI JUMLAH DAGING
Faktor yang diperhitungkan dalam memperkirakan jumlah daging yang dihasilkan dari suatu karkas atau kualitas hasil untuk daging sapi meliputi ;
1.Ketebalan lemak subkutan, dalam inci,
2.Luas area mata rusuk (area Longissimus Dorsi), dalam inci kuadrat,
3.Persen lemak viseral yaitu lemak ginjal (penyelubung ginjal), pelvik dan jantung terhadap berat karkas, dan
4.Berat karkas dalam pound (Kg / Ton).
Untuk domba, faktor kualitas hasil meliputi ;
1.Ketebalan lemak subkutan, dalam inci,
2.Persen lemak penyelubung ginjal dan pelvik terhadap berat karkas. dan
3.Kode skor konformasi paha, diberi angka 15 untuk yang tertinggi, kemudian 14, 13 dan seterusnya (KaizenMeiji, 2007).
Ketebalan lemak subkutan diukur pada permukaan area otot Longissimus Dorsi (LD), pada posisi pemisahan seperempat depan dan seperempat belakang dari karkas. Pengukuran ketebalan lemak subkutan dilakukan tegak lurus permukaan lemak, diposisi tiga perempat bagian sumbu panjang otot LD. Estimasi persentase jumlah lemak ginjal, pelvik dan jantung dilakukan secara objektif, sedangkan luas area LD yang dinyatakan dalam inci, diestimasi secara subjektif. Berat karkas dapat didasarkan pada berat segar atau estimasi berat karkas yang dihitung dari berat karkas layu (dingin) x 1,02. Penyusutan berat karkas selama pelayuan (sampai sekitar 24 jam setelah pemotongan) diestimasikan sekitar 2%. Untuk sapi, kualitas hasil yaitu jumlah daging yang dihasilkan dapat diperoleh dengan persamaan sebagai berikut : 2,50 + (2,50 x ketebalan lemak) + (0,20 x luas area LD). Untuk ternak domba, persamaan kualitas jumlah daging (kualitas hasil) adalah : 1,66 + (6,66 x ketebalan lemak) + (0,25 x persen lemak ginjal dan pelvik) – (0,05 x kode skor konformasi paha).
Hasil perhitungan kualitas hasil dibulatkan kebawah, misalnya 1,69, dibulatkan menjadi 1,0. Tingkat (jumlah) daging yang dapat dimakan diestimasi dan dinilai dari angka 1 sampai 5. Karkas dengan angka kualitas hasil terendah menghasilkan daging dengan jumlah tertinggi. Menurut sistem Departemen Pertanian Amerika Serikat (United States Department of Agriculture = USDA), kualitas karkas veal (sapi yang dipotong pada umur 3 – 14 minggu) dibagi menjadi 5 klas, yaitu prima (prime), pilihan (choice), baik (good), standar (standard), dan terpakai (utility). Karkas yang kualitasnya lebih tinggi mempunyai perkembangan otot yang baik dan deposisi lemak yang memadai di dalam otot intercostal (KaizenMeiji, 1987). Kualitas karkas beef dikelompokkan menjadi 7 klas, yaitu prima, pilihan, baik, standar, komersial, terpakai dan ditolak (cutter), berdasarkan berat karkas sapi dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu A sampai dengan E (umur muda sampai tua), dengan distribusi lemak marbling yang bervariasi. Untuk babi hanya terdapat 2 klas karkas, yaitu : (1) babi jantan dan betina muda tanpa membedakan asal daging, dan (2) karkas babi induk. Karkas babi jantan dan betina muda dikalsifikasikan berdasarkan kualitas daging dan hasil daging. Hasil daging diestimasi berdasarkan kombinasi rata – rata ketebalan lemak punggung dan panjang atau berat karkas. Tingkat perkembangan otot diestimasikan secara subjektif, yaitu sangat tebal, tebal, agak tebal, agak tipis, dan sangat tipis. Ketebalan lemak punggung diukur pada rusuk pertama, rusuk terakhir dan vertebrae lumbar terakhir. Panjang karkas diukur dari ujung anterior pubis sampai ujung anterior rusuk ke satu. Karkas babi induk dinilai berdasarkan ketebalan lemak punggung, yaitu : afkir (<1,1 inci), medium (1,1 – 1,5), USA (Amerika Serikat) no. 1 (1,5 – 1,9), USA no. 2 (1,9 – 2,3), USA no. 3 (>2,3).
Pemasaran babi biasanya dilakukan antara umur 5 – 12 bulan, yaitu sebelum terjadi penimbunan lemak yang berlebihan. Penjualan daging babi tidqak didasarkan atas perbedaan jenis kelamin. Daging babi disebut pork, dan dapat berasal dari : (1) barrow, babi jantan yang dikastrasi sebelum pubertas, (2) gilt, babi betina muda, (3) sow, babi betina dewasa (pernah melahirkan anak), (4) boar, babi jantan dewasa yang tidak dikastrasi, dan (5) stag, babi jantan yang dikastrasi setelah mencapai dewasa, anak babi disebut piglet.
Domba sampai umur 1 tahun disebut lamb, dan pada umur 1 tahun disebut yearling (hogget). Domba yang lebih tua dari 1 tahun disebut mutton. Daging domba bisa berasal dari : (1) wether, domba yang dikastrasi pada umur muda, (2) ewe, domba betina dewasa, (3) ram, domba jantan dewasa, dan (4) stag, domba yang dikastrasi setelah mencapai dewasa.
Daging unggas bisa berasal dari : (1) cock, ayam jantan dewasa, (2) hen, ayam atau kalkun betina dewasa, (3) tom, kalkun jantan dewasa, (4) capon, ayam kastrasi. Anak ayam, kalkun, itik dan angsa, masing – masing disebut chick, poult, duckling dan gosling.
Ajektif (kata sifat) untuk sapi, domba dan babi, masing – masing adalah bovine, ovine dan porcine.
KONVERSI OTOT MENJADI DAGING
Perubahan biokemis dan biofisis pada konversi otot menjadi daging diawali pada saat penyembelihan ternak. Faktor yang mempengaruhi kondisi ternak sebelum pemotongan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging, dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan.
Kegagalan sistem peredaran darah.
Kegagalan sistem peredaran darah yang mengikuti penyembelihan ternak mengakibatkan persediaan oksigen di dalam otot yang dapat berikatan dengan mioglobin makin menurun dan menjadi habis. Karena persediaan oksigen didalam otot menjadi habis, maka proses aerobik melalui siklus sitrat dan sistem enzim sitokrom berhenti berfungsi. Metabolisme energi, yaitu pemecahan (oksidasi) glikogen menjadi asam laktat bertukar menjadi metabolisme anaerobik.
Produksi dan pelepasan panas postmortem.
Pengeluaran darah mengakibatkan hilangnya mekanisme pengendalian temperatur di dalam otot oleh sistem sirkulasi. Panas dari bagian dalam tubuh tidak ada lagi yang diangkut ke paru – paru dan bagian permukaan tubuh lain, sehingga terjadi kenaikan temperatur didalam otot dan tubuh setelah pemotongan. Kenaikan temperatur tubuh setelah pemotongan. Kenaikan temperatur tubuh setelah pemotongan tergantung pada laju produksi panas metabolik dan lama produksi serta pelepasan panas. Ukuran dan lokasi otot di dalam tubuh dan jumlah lemak atau tingkat deposisi lemak tubuh atau karkas akan mempengaruhi kenaikan temperatur akhir dan laju pelepasan panas. Faktor yang menyebabkan kenaikan temperatur otot postmortem, juga menyebabkan penurunan pH otot pascamerta. Faktor eksternal yang berhubungan dengan proses pemotongan seperti temperatur ruang pemotongan, pencelupan dalam air panas, lama proses pemotongan, temperatur awal pendinginan / pelayuan, dan tingkat persediaan energi tubuh, juga mempengaruhi laju penurunan temperatur karkas dan daging.
Pelayuan
Pelayuan adalah penanganan karkas atau daging segar postmortem yang secara relatif belum mengalami kerusakan mikrobial dengan cara penggantungan atau penyimpanan selama waktu tertentu pada temperatur tertentu diatas titik beku karkas atau daging (-15 derajat C). Istilah pelayuan sering disebut aging atau conditioning, kadang – kadang hanging. Selama pelayuan terjadi peningkatan keempukan dan flavor daging. Pelayuan yang lebih lama dari 24 jam atau sejak terjadinya kekakuan daging atau rigormortis dapat disebut pematangan. Pelayuan biasa dilakukan pada temperatur 32 – 38 derajat Ferenheit (0 – 3 derajat Celcius), setelah pendinginan selama kira – kira 24 jam pada temperatur – 4 derajat Celcius sampai 1 derajat Celcius atau yang disebut chilling.
Karkas sapi memerlukan pelayuan, karkas domba atau kambing bisa tidak dilayukan. Karena dagingnya secara relatif sudah empuk bila ternak dipotong pada umur yang relatif muda. Dan proses kekakuan berlangsung dalam waktu yang relatif cepat. Demikian pula karkas unggas, tidak memerlukan pelayuan seperti karkas ternak ruminansia besar. Karkas babi, karena lapisan lemaknya tidak stabil yaitu mudah mengalami proses ransiditas oksidatif, maka pelayuan yang lama (misalnya lebih dari 24 jam), tidak akan memberikan hasil yang menguntungkan.
Pengaruh pengempukan dari pelayuan daging merupakan fungsi dari waktu dan temperatur. Intensitas atau derajat aktifitas pelayuan meningkat sesuai dengan akselerasi temperatur dalam bentuk progresi geometrik, yaitu garis lengkung, bukan garis lurus.
Periode pelayunan daging sapi yang dipak vakum tidak hanya ditentukan oleh perubahan keempukan daging, tetapi juga oleh pertumbuhan mikroorganisme. Batas jumlah mikroorganisme selama pelayuan seharusnya tidak melebihi 105 CFU/cm2. CFU = colony forming unit. Rusianto dan Mila (2008) merekomendasikan periode pelayuan vakum untuk daging sapi sampai selama 14 hari pada temperatur 0 0C, dan 6 hari pada temperatur 4 0C dengan pH daging lebih rendah dari 6,0 dan jumlah sel mikroorganisme awal kira – kira adalah 10 0C dengan pH daging lebih rendah dari 6,0 dan jumlah sel mikroorganisme awal kira – kira adalah 104 CFU/cm2.
Pada umumnya, pelayuan pada temperatur yang lebih tinggi akan menghasilkan derajat keempukan tertentu dalam waktu yang lebih cepat daripada temperatur yang lebih rendah. Misalnya pelayuan selama 2 hari pada temperatur 200 C menghasilkan tingkat keempukan yang sama dengan pelayuan selama 14 hari pada temperatur 20 C dibandingkan dengan pelayuan selama 1 hari pada temperatur 43 0C, menghasilkan keempukan yang lebih tinggi pada otot Longissimus dorsi, Semitendinosus dan Biceps femoris, tetapi sebagimana umumnya, otot Semimembranosus menunjukkan peningkatan keempukan yang lebih besar pada temperatur yang lebih tinggi. Jadi pelayuan pada temperatur tinggi mempunyai pengaruh yang lebih efektif pada daging yang kurang empuk.
Proses pelayuan atau pematangan karkas sapi prima bisa dilakukan selama periode waktu antara 15 -40 hari, karena adanya lapisan lemak yang tebal yang menutup dan melindungi karkas dari kontaminasi mikrobia. Karkas yang tidak cukup mengandung lemak eksternal (termasuk karkas veal) tidak dapat dilayukan dalam waktu yang lama, karena lebih mudah diserang mikroorganisme. Pelayuan selama 7 – 10 hari pertama mempunyai pengaruh yang terbesar terhadap peningkatan keempukan. Perubahan flavor daging bisa terjadi setelah pelayuan selama 7 hari atau 2 minggu. Flavor terbaik bisa terjadi selama periode pematangan antara 20 – 40 hari.
Selama 24 – 36 jam pertama postmortem, proses yang dominan adalah glikolis postmortem. Perubahan degradatif termasuk denaturasi protein dan protolisis terjadi sebelum pH ultimat atau pH akhir karkas atau daging tercapai. Otot mengandung enzim – enzim proteolitik. Peningkatan keempukan daging selama proses pelayuan, antara lain karena kerja enzim – enzim proteolitik terhadap protein fibrus otot, termasuk elemen – elemen kontraktil.
Peningkatan tekanan osmotik, pembebasan ion Na+ dan Ca++ kedalam sarkoplasma oleh protein – protein otot dan absorpsi ion K+, serta perubahan struktur otot setelah 24 jam pelayuan, berhubungan dengan meningkatnya daya ikat air daging. Selama pelayuan, juga terjadi perubahan warna dari merah menjadi coklat agak gelap.
Glikolisis postmortem
Pembebasan energi melalui oksidasi unit glukosa yang diawali dengan degradasi glikogen secara enzimatik (glikogenolisis), disebut glikosis. Glikosis anaerobik tergantung pada jumlah glikogen otot sebagai sumber energi pada saat pemotongan. Sumber energi lainnya, yaitu ATP dan kreatin fosfat, karena setelah pemotongan jumlahnya sangat sedikit, tidak mempunyai peranan yang berarti untuk berlangsungnya glikolisis anaerobik.
Glikogen merupakan persediaan karbohidrat utama didalam hati dan serabut otot. Granula tunggal atau kelompok granula glikogen terdapat didalam sarkoplasma diantara miofibril dan dibawah membran sel. Glikogen adalah polisakarida yang terbentuk dari ikatan sejumlah unit D-glukosa secara bersama – sama.
Rantai lurus molekul glikogen terbentuk oleh ikatan – ikatan anatara atom – atom karbon 1 dan 4 (ikatan 1,4) yang merupakan ikatan prinsip didalam molekul glikogen, dan ikatan cabang atau antar rantai yang terbentuk disepanjang rantai utama, setiap 10 – 14 residu glukosa (dengan kisaran antara 6 – 18) melalui ikatan antara atom karbon 1 dan 6 (ikatan 1,6). Percabangan bisa juga terjadi pada setiap 3 – 4 residu glukosa.
Akumulasi glikogen adalah hasil dari aktifitas glikogen sintetase. Enzim yang mengkatalisis pemutusan rantai – rantai lurus (makromolekul) glikogen adalah enzim fosforilase. Bentuk aktif fosforilase otot adalah fosforilase a. Jika di defosforilasi menjadi bentuk kurang aktif, dan disebut fosforilase b. Aktifitas fosforilase b tergantung adanya adenosin monofosfat (AMP), sedangkan fosforilase a tidak.
Konversi fosforilase b menjadi fosforilase a dihambat di dalam setiap serabut otot oleh konsentrasi ATP yang tinggi dan glukosa – 6 – fosfat (suatu senyawa yang memegang peranan utama dalam konversi glikogen menjadi laktat). Jadi jika energi yang dibebaskan energi akan berhenti bekerja. Jika energi dipergunakan, AMP dan P dari : ATP menjadi ADP + ADP menjadi AMP + P. memudahkan aktifitas fosforilase. Epineprin atau adrenalin yang hadir di dalam otot diperlukan untuk mengawali perubahan – perubahan biokimia selanjutnya. Adrenalin menyebabkan adenil siklase meningkatkan pembentukan senyawa yang disebut siklik AMP dari ATP. Siklik AMP mengaktifkan enzim lain, yaitu proteinkinase. Protein kinase memfosforilasi enzim fosforilase b kinase b, dengan adanya ion Mg++
Proses glikogemolisis diawali dengan pemutusan ikatan rantai – rantai lurus (makromolekul) glikogen pada posisi molekul nonreduksi (posisi karbon 4) didalam proses fosforolitik yang melibatkan enzim fosforilase dan fosfat anorganik. Dalam proses fosforolitik ini, fosforilase mengkatalis reaksi fosfat anorganik memutus ikatan – ikatan dan mempersatukan grup fosfat pada glukosa – 1 – fosfat dibebaskan secara berturut – turut sampai mencapai unit molekul – molekul glukosa yang telah terpisah dengan adanya oligotransferase, dan ditambahkan pada rantai lurus bebas yang berdekatan sehingga oligotransferase, dan ditambahkan pada rantai lurus bebas yang berdekatan sehingga ikatan 1,6 terbuka. Enzim pemutus cabang (amilo – 1,6 – glukosidase) menyerang ikatan 1,6 pada titik cabang dan menghasilkan glukosa bebas. Jadi glikogenolisis menghasilkan glukosa – 1 – fosfat dan glukosa dengan rasio yang menunjukkan rasio antara panjang rantai lurus makromolekul dengan jumlah titik cabang.
Suplai energi di dalam otot
Dalam proses glikolisis, energi kimia glukosa dipergunakan untuk mensintesis ATP. Setiap molekul glukosa yang dipisahkan dari glikogen dalam proses glikolisis, dibagi menjadi 2 fragmen 3 karbon, dan mengalami 3 fosforilasi kembali untuk kemudian menghasilkan 3ATP (3ADP menjadi 3ATP) dan 4 hidrogen ion (H+). Dalam kondisi aerobik, senyawa pembawa H+ , nikotinamida adenin dinukleotida bentuk oksidasi (NAD+) menstransportasikan H+ ke dalam mitokondria, kemudian mengalami fosforilasi kembali dan menghasilkan 4 molekul ATP. Hasil akhir pemecahan glukosa adalah 2 asam piruvat. Dalam kondisi aerobik, asam piruvat ini memasuki siklus asam trikarboksilat (siklus tricarboxylic acid = TCA) atau siklus Krebs, dan dipecah menjadi karbon dioksida dan ion hidrogen. Co2 memasuki peredaran darah sebagai hasil sisa, sedangkan ion hidrogen diterima NAD+ untuk membentuk senyawa NADH (NAD bentuk reduksi. Produk degradasi asam – asam lemak dan protein juga memasuki siklus TCA dan dikonversi menjadi energi.
Fosforilasi dalam proses glikolisis dan siklus TCA terjadi didalam rantai sitokrom (grup Fe yang mengandung enzim di dalam mitokondria, bersama – sama dengan enzim – enzim siklus TCA). Ion hidrogen dari glikolisis dan siklus TCA ditransportasikan NAD+ dan berkombinasi dengan oksigen molekular membentuk air. Sejumlah besar energi yang dihasilkan dipergunakan untuk memfosforilasi kembali ADP, sedangkan sisa energi akan hilang sebagai panas. Setiap pasang ion hidrogen dari silus TCA menghasilkan 3 molekul ATP, sedangkan setiap pasang ion hidrogen yang dibebaskan dari proses glukolisis menghasilkan 2 molekul ATP.
Jumlah molekul ATP yang dihasilkan dari setiap molekul glukosa yang dipisahkan dari glukogen adalah 3 molekul ATP dari glikolisis bersama – sama dengan ion hidrogen yang akan menghasilkan 4 molekul ATP di dalam rantai sitokrom. Disamping itu, 2 molekul piruvat yang memasuki siklus TCA akan menghasilkan 20 atom hidrogen (setiap molekul piruvat menghasilkan 10 atom H) yang dapat dikonversi menjadi 30 molekul ATP di dalam rantai sitokrom. Jadi sebuah molekul glukosa yang berasal dari glukogen didegradasi menjadi karbon dioksida dan air, dan 37 molekul ATP yang dikonversikan menjadi 37 molekul ATP.
Glikolisis meliputi perubahan – perubahan bertahap di dalam konversi glukosa dan glikogen menjadi piruvat atau asam laktat yang melibatkan banyak senyawa. Proses glikolisis melibatkan banyak reaksi dan enzim yang mengkatalisis reaksi. Reaksi – reaksi di dalam glikolisis bisa dihambat atau diakselerasi oleh senyawa – senyawa atau ion elemen tertentu. Misalnya, fosfo – fruktokinase mengkatalis reaksi fruktosa – 6 – fosfat menjadi fruktosa – 1,6 – difosfat dengan adanya ADP dan AMP, tetapi dihambat oleh ATP. Jadi ATP bertindak sebagai pengendali mekanisme proses glikolisis dengan memblokade pembentukan fruktosa – 1,6 – difosfat. Sebaliknya konsentrasi ADP dan AMP yang tinggi sebagai konsekuensi dari kebutuhan jaringan akan energi dan oksigen, akan mengakselerasi glikosis. Fungsi glikolisis anaerobik menjadi lengkap setelah pembentukan asam piruvat dan ATP dari fosfopiruvat melalui kerja katalitik enzim piruvat kinase.
Pada kondisi anaerobik di dalam otot dan daging, siklus TCA berhenti. Nikotinamida – adenin dinukleotida bentuk reduksi (NADH) dioksidasi kembali di dalam sitosol dengan adanya laktat dehidrogenase, selama konversi piruvat menjadi laktat.
Konversi piruvat menjadi laktat pada kondisi anaerobik akan mensuplai NAD+ untuk berlangsungnya glikogenolisis dan glikolisis anaerobik di dalam sitosol. Proses ini merupakan awal dari oksidasi karbohidrat secara lengkap dan tidak lagi menghasilkan ATP yang banyak. Produksi ATP menjadi sangat menurun, yaitu hanya 2 molekul per molekul glukosa – 1 – fosfat. Glukosa + 2ADP + 2P berputar menjadi 2 laktat + 2 ATP.
Laktat dehidrogenase (LDH) mengkatalisis penambahan atom hidrogen pada piruvat untuk memproduksi laktat. LDH terdapat dalam sejumlah bentuk molekular (isoenzim). LDH – 1 bekerja pada metabolisme anaerobik dan terdapat di dalam otot skeletal dalam jumlah besar. LDH – 1 terutama terdapat di dalam otot jantung.
Penurunan pH postmortem.
Penimbunan asam laktat dan tercapainya pH ultimat otot pascamerta tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat pemotongan. Penimbunan asam laktat akan berhenti setelah cadangan glikogen otot menjadi habis atau setelah kondisi yang tercapai, yaitu pH cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim – enzim glikolitik di dalam proses glikolisis anaerobik. Jadi pH ultimat daging adalah pH yang tercapai setelah glikogen otot menjadi habis atau setelah enzim – enzim glikolitik menjadi titik aktif pada pH rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan – serangan enzim glikolitik. PH ultimat normal daging postmortem adalah sekitar 5,5, yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein miofibril. Pada umumnya, glikogen tidak ditemukan pada pH antara 5,4 – 5,5.
Faktor yang mempengaruhi laju dan besarnya penurunan pH postmortem dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik, anatara lain adalah spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas diantara ternak, sedangkan faktor ekstrinsik, antara lain adalah temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif sebelum pemotongan dan stres sebelum pemotongan. Pengaruh spesies terhadap laju dan besarnya penurunan pH postmortem otot Longisimus dorsi pada temperatur 37 0C disajikan secara menurun dalam skala waktu per menit pada Kuda, Sapi, Babi, Unggas dan Ikan.
Penurunan pH otot postmortem juga bervariasi diantara ternak. Pada sejumlah ternak dapat dijumpai bahwa pH karkas atau daging hanya menurun sedikit selama beberapa jam pertama setelah pemotongan, dan pada saat tercapainya kekakuan daging, pH tetap tinggi, yaitu antara 6,5 – 6,8. Pada ternak lain. pH karkas atau daging dapat menurun dengan cepat hingga mencapai 5,4 – 5,5 selama beberapa jam setelah pemotongan. Daging dari ternak ini akan mempunyai pH akhir antara 5,3 – 5,6.
Penurunan pH karkas postmortem mempunyai hubungan yang erat dengan temperatur lingkungan (penyimpanan). Pada dasarnya, temperatur tinggi meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH. Pengaruh temperatur terhadap perubahan pH postmortem ini adalah sebagai akibat pengaruh langsung dari temperatur terhadap laju glikolisis postmortem.
Bufer seperti karbon dioksida dari bikarbonat dan hasil pemecahan kreatin fosfat dapat mencegah penurunan pH yang cepat dan menyebabkan pH otot tetap tinggi, yaitu lebih besar dari 7,0. Bufer lain seperti protein, senyawa fosfat, karnosin, anserin dan asam laktat (pada kisaran pH yang lebih rendah dari 5,5) juga dapat mencegah perubahan pH daging yang cepat setelah pemotongan. Penurunan pH sampai kira – kira 5,4 – 5,5 atau lebih rendah berarti titik isoelektrik miosin telah tercapai. Dengan tercapainya titik isoelektrik miosin ini akan terjadi pengerucutan fibril daging, dan protein akan kehilangan kemampuan untuk mengikat cairan, serta struktur daging menjadi longgar.
Adanya hubungan yang erat antara pH daging dengan warna, tekstur serta daya ikat air oleh protein daging (water – holding capacity) akan dibahas dalam Pertemuan Training darat (Off Line).
Laju penurunan pH otot yang cepat dan ekstensif akan mengakibatkan :
1.Warna daging menjadi pucat,
2.Daya ikat protein daging terhadap cairannya menjadi rendah,
3.Permukaan potongan daging menjadi basah karena keluarnya cairan kepermukaan potongan daging yang disebut drip atau weep.
Sebaliknya, pH ultimat yang tinggi, daging berwarna gelap dan permukaan potongan daging menjadi sangat kering karena cairan daging terikat secara erat oleh proteinnya.
Glikolisis postmortem
Pembebasan energi melalui oksidasi unit glukosa yang diawali dengan degradasi glikogen secara enzimatik (glikogenolisis), disebut glikosis. Glikosis anaerobik tergantung pada jumlah glikogen otot sebagai sumber energi pada saat pemotongan. Sumber energi lainnya, yaitu ATP dan kreatin fosfat, karena setelah pemotongan jumlahnya sangat sedikit, tidak mempunyai peranan yang berarti untuk berlangsungnya glikolisis anaerobik.
Glikogen merupakan persediaan karbohidrat utama didalam hati dan serabut otot. Granula tunggal atau kelompok granula glikogen terdapat didalam sarkoplasma diantara miofibril dan dibawah membran sel. Glikogen adalah polisakarida yang terbentuk dari ikatan sejumlah unit D-glukosa secara bersama – sama.
Rantai lurus molekul glikogen terbentuk oleh ikatan – ikatan anatara atom – atom karbon 1 dan 4 (ikatan 1,4) yang merupakan ikatan prinsip didalam molekul glikogen, dan ikatan cabang atau antar rantai yang terbentuk disepanjang rantai utama, setiap 10 – 14 residu glukosa (dengan kisaran antara 6 – 18) melalui ikatan antara atom karbon 1 dan 6 (ikatan 1,6). Percabangan bisa juga terjadi pada setiap 3 – 4 residu glukosa.
Akumulasi glikogen adalah hasil dari aktifitas glikogen sintetase. Enzim yang mengkatalisis pemutusan rantai – rantai lurus (makromolekul) glikogen adalah enzim fosforilase. Bentuk aktif fosforilase otot adalah fosforilase a. Jika di defosforilasi menjadi bentuk kurang aktif, dan disebut fosforilase b. Aktifitas fosforilase b tergantung adanya adenosin monofosfat (AMP), sedangkan fosforilase a tidak.
Konversi fosforilase b menjadi fosforilase a dihambat di dalam setiap serabut otot oleh konsentrasi ATP yang tinggi dan glukosa – 6 – fosfat (suatu senyawa yang memegang peranan utama dalam konversi glikogen menjadi laktat). Jadi jika energi yang dibebaskan energi akan berhenti bekerja. Jika energi dipergunakan, AMP dan P dari : ATP menjadi ADP + ADP menjadi AMP + P. memudahkan aktifitas fosforilase. Epineprin atau adrenalin yang hadir di dalam otot diperlukan untuk mengawali perubahan – perubahan biokimia selanjutnya. Adrenalin menyebabkan adenil siklase meningkatkan pembentukan senyawa yang disebut siklik AMP dari ATP. Siklik AMP mengaktifkan enzim lain, yaitu proteinkinase. Protein kinase memfosforilasi enzim fosforilase b kinase b, dengan adanya ion Mg++
Proses glikogemolisis diawali dengan pemutusan ikatan rantai – rantai lurus (makromolekul) glikogen pada posisi molekul nonreduksi (posisi karbon 4) didalam proses fosforolitik yang melibatkan enzim fosforilase dan fosfat anorganik. Dalam proses fosforolitik ini, fosforilase mengkatalis reaksi fosfat anorganik memutus ikatan – ikatan dan mempersatukan grup fosfat pada glukosa – 1 – fosfat dibebaskan secara berturut – turut sampai mencapai unit molekul – molekul glukosa yang telah terpisah dengan adanya oligotransferase, dan ditambahkan pada rantai lurus bebas yang berdekatan sehingga oligotransferase, dan ditambahkan pada rantai lurus bebas yang berdekatan sehingga ikatan 1,6 terbuka. Enzim pemutus cabang (amilo – 1,6 – glukosidase) menyerang ikatan 1,6 pada titik cabang dan menghasilkan glukosa bebas. Jadi glikogenolisis menghasilkan glukosa – 1 – fosfat dan glukosa dengan rasio yang menunjukkan rasio antara panjang rantai lurus makromolekul dengan jumlah titik cabang.
Suplai energi di dalam otot
Dalam proses glikolisis, energi kimia glukosa dipergunakan untuk mensintesis ATP. Setiap molekul glukosa yang dipisahkan dari glikogen dalam proses glikolisis, dibagi menjadi 2 fragmen 3 karbon, dan mengalami 3 fosforilasi kembali untuk kemudian menghasilkan 3ATP (3ADP menjadi 3ATP) dan 4 hidrogen ion (H+). Dalam kondisi aerobik, senyawa pembawa H+ , nikotinamida adenin dinukleotida bentuk oksidasi (NAD+) menstransportasikan H+ ke dalam mitokondria, kemudian mengalami fosforilasi kembali dan menghasilkan 4 molekul ATP. Hasil akhir pemecahan glukosa adalah 2 asam piruvat. Dalam kondisi aerobik, asam piruvat ini memasuki siklus asam trikarboksilat (siklus tricarboxylic acid = TCA) atau siklus Krebs, dan dipecah menjadi karbon dioksida dan ion hidrogen. Co2 memasuki peredaran darah sebagai hasil sisa, sedangkan ion hidrogen diterima NAD+ untuk membentuk senyawa NADH (NAD bentuk reduksi. Produk degradasi asam – asam lemak dan protein juga memasuki siklus TCA dan dikonversi menjadi energi.
Fosforilasi dalam proses glikolisis dan siklus TCA terjadi didalam rantai sitokrom (grup Fe yang mengandung enzim di dalam mitokondria, bersama – sama dengan enzim – enzim siklus TCA). Ion hidrogen dari glikolisis dan siklus TCA ditransportasikan NAD+ dan berkombinasi dengan oksigen molekular membentuk air. Sejumlah besar energi yang dihasilkan dipergunakan untuk memfosforilasi kembali ADP, sedangkan sisa energi akan hilang sebagai panas. Setiap pasang ion hidrogen dari silus TCA menghasilkan 3 molekul ATP, sedangkan setiap pasang ion hidrogen yang dibebaskan dari proses glukolisis menghasilkan 2 molekul ATP.
Jumlah molekul ATP yang dihasilkan dari setiap molekul glukosa yang dipisahkan dari glukogen adalah 3 molekul ATP dari glikolisis bersama – sama dengan ion hidrogen yang akan menghasilkan 4 molekul ATP di dalam rantai sitokrom. Disamping itu, 2 molekul piruvat yang memasuki siklus TCA akan menghasilkan 20 atom hidrogen (setiap molekul piruvat menghasilkan 10 atom H) yang dapat dikonversi menjadi 30 molekul ATP di dalam rantai sitokrom. Jadi sebuah molekul glukosa yang berasal dari glukogen didegradasi menjadi karbon dioksida dan air, dan 37 molekul ATP yang dikonversikan menjadi 37 molekul ATP.
Glikolisis meliputi perubahan – perubahan bertahap di dalam konversi glukosa dan glikogen menjadi piruvat atau asam laktat yang melibatkan banyak senyawa. Proses glikolisis melibatkan banyak reaksi dan enzim yang mengkatalisis reaksi. Reaksi – reaksi di dalam glikolisis bisa dihambat atau diakselerasi oleh senyawa – senyawa atau ion elemen tertentu. Misalnya, fosfo – fruktokinase mengkatalis reaksi fruktosa – 6 – fosfat menjadi fruktosa – 1,6 – difosfat dengan adanya ADP dan AMP, tetapi dihambat oleh ATP. Jadi ATP bertindak sebagai pengendali mekanisme proses glikolisis dengan memblokade pembentukan fruktosa – 1,6 – difosfat. Sebaliknya konsentrasi ADP dan AMP yang tinggi sebagai konsekuensi dari kebutuhan jaringan akan energi dan oksigen, akan mengakselerasi glikosis. Fungsi glikolisis anaerobik menjadi lengkap setelah pembentukan asam piruvat dan ATP dari fosfopiruvat melalui kerja katalitik enzim piruvat kinase.
Pada kondisi anaerobik di dalam otot dan daging, siklus TCA berhenti. Nikotinamida – adenin dinukleotida bentuk reduksi (NADH) dioksidasi kembali di dalam sitosol dengan adanya laktat dehidrogenase, selama konversi piruvat menjadi laktat.
Konversi piruvat menjadi laktat pada kondisi anaerobik akan mensuplai NAD+ untuk berlangsungnya glikogenolisis dan glikolisis anaerobik di dalam sitosol. Proses ini merupakan awal dari oksidasi karbohidrat secara lengkap dan tidak lagi menghasilkan ATP yang banyak. Produksi ATP menjadi sangat menurun, yaitu hanya 2 molekul per molekul glukosa – 1 – fosfat. Glukosa + 2ADP + 2P berputar menjadi 2 laktat + 2 ATP.
Laktat dehidrogenase (LDH) mengkatalisis penambahan atom hidrogen pada piruvat untuk memproduksi laktat. LDH terdapat dalam sejumlah bentuk molekular (isoenzim). LDH – 1 bekerja pada metabolisme anaerobik dan terdapat di dalam otot skeletal dalam jumlah besar. LDH – 1 terutama terdapat di dalam otot jantung.
Penurunan pH postmortem.
Penimbunan asam laktat dan tercapainya pH ultimat otot pascamerta tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat pemotongan. Penimbunan asam laktat akan berhenti setelah cadangan glikogen otot menjadi habis atau setelah kondisi yang tercapai, yaitu pH cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim – enzim glikolitik di dalam proses glikolisis anaerobik. Jadi pH ultimat daging adalah pH yang tercapai setelah glikogen otot menjadi habis atau setelah enzim – enzim glikolitik menjadi titik aktif pada pH rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan – serangan enzim glikolitik. PH ultimat normal daging postmortem adalah sekitar 5,5, yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein miofibril. Pada umumnya, glikogen tidak ditemukan pada pH antara 5,4 – 5,5.
Faktor yang mempengaruhi laju dan besarnya penurunan pH postmortem dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik, anatara lain adalah spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas diantara ternak, sedangkan faktor ekstrinsik, antara lain adalah temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif sebelum pemotongan dan stres sebelum pemotongan. Pengaruh spesies terhadap laju dan besarnya penurunan pH postmortem otot Longisimus dorsi pada temperatur 37 0C disajikan secara menurun dalam skala waktu per menit pada Kuda, Sapi, Babi, Unggas dan Ikan.
Penurunan pH otot postmortem juga bervariasi diantara ternak. Pada sejumlah ternak dapat dijumpai bahwa pH karkas atau daging hanya menurun sedikit selama beberapa jam pertama setelah pemotongan, dan pada saat tercapainya kekakuan daging, pH tetap tinggi, yaitu antara 6,5 – 6,8. Pada ternak lain. pH karkas atau daging dapat menurun dengan cepat hingga mencapai 5,4 – 5,5 selama beberapa jam setelah pemotongan. Daging dari ternak ini akan mempunyai pH akhir antara 5,3 – 5,6.
Penurunan pH karkas postmortem mempunyai hubungan yang erat dengan temperatur lingkungan (penyimpanan). Pada dasarnya, temperatur tinggi meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH. Pengaruh temperatur terhadap perubahan pH postmortem ini adalah sebagai akibat pengaruh langsung dari temperatur terhadap laju glikolisis postmortem.
Bufer seperti karbon dioksida dari bikarbonat dan hasil pemecahan kreatin fosfat dapat mencegah penurunan pH yang cepat dan menyebabkan pH otot tetap tinggi, yaitu lebih besar dari 7,0. Bufer lain seperti protein, senyawa fosfat, karnosin, anserin dan asam laktat (pada kisaran pH yang lebih rendah dari 5,5) juga dapat mencegah perubahan pH daging yang cepat setelah pemotongan. Penurunan pH sampai kira – kira 5,4 – 5,5 atau lebih rendah berarti titik isoelektrik miosin telah tercapai. Dengan tercapainya titik isoelektrik miosin ini akan terjadi pengerucutan fibril daging, dan protein akan kehilangan kemampuan untuk mengikat cairan, serta struktur daging menjadi longgar.
Adanya hubungan yang erat antara pH daging dengan warna, tekstur serta daya ikat air oleh protein daging (water – holding capacity) akan dibahas dalam Pertemuan Training darat (Off Line).
Laju penurunan pH otot yang cepat dan ekstensif akan mengakibatkan :
1.Warna daging menjadi pucat,
2.Daya ikat protein daging terhadap cairannya menjadi rendah,
3.Permukaan potongan daging menjadi basah karena keluarnya cairan kepermukaan potongan daging yang disebut drip atau weep.
Sebaliknya, pH ultimat yang tinggi, daging berwarna gelap dan permukaan potongan daging menjadi sangat kering karena cairan daging terikat secara erat oleh proteinnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar