Kebijakan Bank Indonesia (BI) dan Arah Pergerakan Rupiah
Oleh Tim NRi PSM Group international Corporate
Pada tahun 2013 yang lalu, nilai tukar rupiah tergerus hingga 25,85%, sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 18% dari level tertingginya di bulan Mei 2013. Salah satu sumber kompleksitas persoalan ekonomi 2013 adalah pengumuman kenaikan BBM (Bulan Mei) yang terjadi hampir berbarengan dengan pengumuman rencana pencabutan stimulus (tapering off) di AS pada bulan Juni. Dari situlah dinamika pasar keuangan mengalami turbulensi, sehingga Morgan Stanley memposisikan Indonesia ke dalam kelompok lima negara yang paling rapuh mata uangnya (CCI dan fragile five), bersamaan dengan Brazil, Turki, Afrika Selatan, dan India. Menyikapi kondisi ini, suku bunga acuan (BI Rate) sudah dinaikkan hingga 175 basis poin.
Adanya faktor tapering off memang lebih signifikan mempengaruhi dinamika pasar keuangan RI. Selama ini, AS dan negara maju lainnya menerapkan strategi pelonggaran likuitas secara berlebihan. Pertama, melalui kebijakan moneter dengan tingkat suku bunga mendekati nol. Kedua, dengan inisiasi kebijakan melalui pembelian surat utang pemerintah oleh bank sentral melalui pencetakan uang (quantitative easing / QE). Melalui dua pilar kebijakan tersebut likuiditas mengalir dengan begitu deras di pasar keuangan, harapannya agar perekonomian negara maju segera menggeliat.
Meski demikian, pasar keuangan bermain dengan logikanya sendiri. Pelaku pasar meminjam dalam mata uang dengan suku bunga rendah (hampir nol persen), lalu menginvestasikan kembali dalam mata uang dengan suku bunga yang tinggi. Untuk mempertahankan minat investor asing, BI Rate terus dinaikkan. Harapannya, hanya sebagian kecil saja portofolio investasi yang dipindahkan dari pasar keuangan domestik. Ini bukan tanpa persoalan. Akibat terlalu menikmati aliran modal asing yang datang dengan santer, Indonesia cenderung abai melakukan reformasi struktural. Akibatnya, perekonomian dalam negeri terbelit ketergantungan pada aliran modal asing di satu sisi, serta mandeknya transformasi ekonomi domestik di sisi lain.
Kebijakan BI
Bank Indonesia (BI) masih menjalankan kebijakan moneter ketat untuk mengarahkan inflasi menuju sasaran dan menurunkan defisit transaksi berjalan. Langkah ini juga didukung kerjasama dengan pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi. Hal ini tercermin dalam keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 7,5% dalam dalam Rapat Dewan Gubernur BI, pada 13 Februari 2014. Rapat juga memutuskan mempertahankan suku bunga lending facility di posisi 5,75%.
Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengatakan, ke depan, BI terus mencermati risiko global ataupun domestik dan memastikan langkah - langkah antisipasi agar stabilitas makroekonomi tetap terjaga. Sasaran inflasi tahun 2014 sebesar 3,5 - 5,5%, sedangkan sasaran inflasi tahun 2015 berkisar 3,5 persen.
Keputusan BI untuk mempertahankan BI Rate diperkirakan akan mengakibatkan margin laba bersih emiten perbankan kembali tertekan. Sebab, sejak kenaikan BI Rate menjadi 7,5% pada November 2013, belum semua emiten merespon dengan menaikkan suku bunga pinjaman, dengan pertimbangan untuk menekan resiko kredit macet.
Pada periode Mei - Desember 2013, BI menaikkan BI Rate sebesar 175 basis poin dari 5,75% menjadi 7,5%. Alasan BI saat itu untuk mengendalikan inflasi dan memperkecil defisit transaksi berjalan. Berdasarkan catatan BI, perbaikan defisit transaksi berjalan akibat membaiknya neraca perdagangan, semula, BI memperkirakan defisit transaksi berjalan triwulan IV 2013 sebesar 3% produk domestik bruto (PDB). Adapun surplus transaksi modal dan finansial triwulan IV 2013 diperkirakan meningkat yang bersumber dari penanaman modal asing yang stabil. Hal ini menguatkan neraca pembayaran Indonesia.
Lebih lanjut Agus menambahkan, dengan menipisnya defisit transaksi berjalan pada triwulan IV 2013, defisit transaksi berjalan sepanjang tahun 2013 juga membaik dari perkiraan. Diperkirakan defisit transaksi berjalan tahun 2013 sebesar 3,26% PDB atau 28,4 milliar dolar AS.
Pada sisi lain, pemerintah menilai defisit anggaran dari PDB pada awal tahun ini yang mencapai 3,1% masih di level yang aman. Direktur Jenderal Pengelolahan Utang Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengatakan, pada Januari ada pengeluaran yang sifatnya musiman. Setiap awal triiwulan, pemerintah mengeluarkan dana cukup besar untuk biaya operasional, termasuk transfer dana alokasi umum ke daerah.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan negara per januari 2014 baru mencapai Rp 91,4 triliun dari target Rp 1,667,1 triliun. Sedangkan belanja negara mencapai Rp 96,8 triliun dari target belanja Rp 1.842,4 triliun. Dengan demikian, defisit anggaran hingga kini sebesar Rp 5,3 triliun atau 3,1% dari target defisit anggaran hingga akhir tahun Rp 175,3 triliun.
Arah Pergerakan Rupiah
Bank Indonesia (BI) melaporkan rupiah melemah 0,33% pada Januari 2014. Pada Januari 2014 rupiah ditutup pada level 12.210 per dolar AS. Posisi tersebut melemah bila dibandingkan dengan akhir Desember 2013. Namun pelemahan Januari lebih kecil bila dibandingkan November 2013 yang mencapai 1,71%. Secara rata - rata rupiah pada Januari 2014, tercatat Rp 12.075 per dolar AS, melemah 0,7% lebih rendah dibandingkan pelemahan rata - rata rupiah Desember 2013 sebesar 3,74%. Dengan perkembangan ini maka indeks nilai tukar rupiah riil efektif (real effective exchange rate - REET) dengan tahun dasar 2006 tercatat 94,2 sehingga tingkat daya saing harga Indonesia relatif tinggi.
Sementara itu, aktifitas pasar uang baik rupiah maupun valas semakin berkembang dinamis dengan volume transaksi yang meningkat dan premi resiko seperti tercermin pada credit default swap yang menurun. Hal ini tidak lepas dari langkah - langkah BI untuk pendalaman pasar keuangan termasuk swap lindung nilai dan repo antar bank dengan mini MRA. Ke depan diharapkan BI tetap konsisten menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya didukung dengan berbagai upaya meningkatkan pendalaman pasar valas. Penggunaan rupiah untuk transaksi di di dalam negeri sesuai UU mata uang dan perluasan instrumen lindung nilai dalam transaksi valas terus disdorong.
Pada pertengahan Februari 2014, nilai tukar rupiah menguat 0,40%. Rilis data Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pekan ini jadi katalisnya. Berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), dalam sepekan terakhir rupiah menguat 50 poin (0,40%) ke posisi 12.176 per 7 February 2014 dibandingkan akhir pekan sebelumnya 12.226 pada 30 Januari 2014.
Laju nilai tukar rupiah berbalik ke zona hijau sepanjang pekan terakhir. Rilis pelemahan data manufaktur China di akhir pekan sebelumnya dan di awal pekan kemarin memberikan sentimen negatif bagi laju pergerakan sejumlah mata uang emerging market, termasuk rupiah yang masih dalam pelemahannya meski terbatas.
Sementara pergerakan poundsterling dan Won yang terdepresiasi terimbas rilis perlambatan kegiatan manufactur di Inggris dan China serta masih adanya imbas tapering off The Fed turut melemahkan laju rupiah. Akan tetapi, hal itu dapat diimbangi oleh rilis surplusnya neraca perdagangan Indonesia senilai USD 1,52B dan rilis inflasi 1,07% secara bulanan.
Data dalam negeri, masih dianggap wajar karena secara historis memang ada kenaikan di bulan Januari. Laju rupiah dapat terapresiasi tipis meski laju euro dan yuan China berbalik turun seiring kabar yang beredar bahwa ECB kemungkinan akan menambah stimulus untuk menumbuhkan perekonomian Zona Euro. Keputusan RBA yang mempertahankan RBA Rate di level 2,5% membuat mata uang dolar Australia terapresiasi dan naiknya beberapa mata uang emerging market pasca pernyataan Presiden Brazil, Roussef, yang berkomitmen menurunkan harga untuk meredam tingginya inflasi turut berimbas pada laju rupiah. akibatnya, pelemahan rupiah pun dapat tertahan.
Laju rupiah masih melanjutkan apresiasinya pasca dirilisnya data Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. PDB 2013 tumbuh sebesar 5,78% dibandingkan tahun 2012 sebesar 5,62%. Sementara konsensus 5,3%. Pelaku pasar juga merespon positif kenaikan PDB per kapita tahun 2013 mencapai 36,5 juta dibandingkan PDB per kapita 2012 yang mencapai Rp 33,5 juta. Padahal, terdapat sentimen negatif di mana laju Euro melemah pasca dirilis pelemahan penjualan rilis zona Euro.
Sejumlah pengamat meyakini, nilai tukar rupiah diprediksi menguat pada 2014. Syaratnya, arus modal asing masuk deras. Diperkirakan arus modal asing akan datang deras setelah pemilu usai pada tahun ini dan sudah ada kepastian presiden Indonesia terpilih. Pelaku pasar juga merespon positif kenaikan PDB per kapita tahun 2013 mencapai Rp 36,5 juta dibandingkan PDB per kapita 2012 yag mencapai Rp 33,5 juta. Padahal, terdapat sentimen negatif di mana laju Euro melemah pasca dirilis pelemahan penjualan ritel zona Euro.
Selain itu, sentimen positif juga datang dari serapan lelang SUN yang mencapai Rp 15 triliun dari target indikatif Rp 10 triliun. Apresiasinya rupiah juga terbantukan dengan penguatan Euro setelah European Central Bank (ECB) akhirnya memutuskan untuk menahan diri dari rencana penambahan stimulus dan kabar positif dari BoJ yang berencana memperluas pemberian stimulus moneter lebih lanjut.
BI yang mempertahankan suku bunga acuan di level 7,5% menunjukkan fundamental ekonomi domestik stabil dan berdampak ke penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Fundamental ekonomi domestik yang kondusif juga terlihat dari cadangan devisa Indonesia yang naik menjadi USD 100,651 miliar pada Januari 2014. Posisi cadangan devisa di atas USD 100 miliar itu membuat psikologis pelaku pasar keuangan domestik baik, itu juga yang membuat transaksi rupiah menguat.
Diperkirakan untuk jangka menengah pergerakan rupiah masih tetap kondusif terhadap dolar AS meski dibayangi sentimen dari pengurangan stimulus keuangan (tapering off) bank sentral AS (The Fed). Adanya kepastian The Fed yang komitmen untuk tetap menjalankan kebijakan moneter longgarnya membuat pasar stabil.
Dari eksternal, data AS yang di luar estimasi mendorong sentimen minat terhadap aset beresiko (risk appetite) dapat meningkat seperti nilai tukar mata uang. Data - data AS yang kurang positif itu menimbulkan asumsi bahwa Bank Sentral AS masih akan memberikan pelonggaran stimulusnya.
Pada periode Mei - Desember 2013, BI menaikkan BI Rate sebesar 175 basis poin dari 5,75% menjadi 7,5%. Alasan BI saat itu untuk mengendalikan inflasi dan memperkecil defisit transaksi berjalan. Berdasarkan catatan BI, perbaikan defisit transaksi berjalan akibat membaiknya neraca perdagangan, semula, BI memperkirakan defisit transaksi berjalan triwulan IV 2013 sebesar 3% produk domestik bruto (PDB). Adapun surplus transaksi modal dan finansial triwulan IV 2013 diperkirakan meningkat yang bersumber dari penanaman modal asing yang stabil. Hal ini menguatkan neraca pembayaran Indonesia.
Lebih lanjut Agus menambahkan, dengan menipisnya defisit transaksi berjalan pada triwulan IV 2013, defisit transaksi berjalan sepanjang tahun 2013 juga membaik dari perkiraan. Diperkirakan defisit transaksi berjalan tahun 2013 sebesar 3,26% PDB atau 28,4 milliar dolar AS.
Pada sisi lain, pemerintah menilai defisit anggaran dari PDB pada awal tahun ini yang mencapai 3,1% masih di level yang aman. Direktur Jenderal Pengelolahan Utang Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengatakan, pada Januari ada pengeluaran yang sifatnya musiman. Setiap awal triiwulan, pemerintah mengeluarkan dana cukup besar untuk biaya operasional, termasuk transfer dana alokasi umum ke daerah.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan negara per januari 2014 baru mencapai Rp 91,4 triliun dari target Rp 1,667,1 triliun. Sedangkan belanja negara mencapai Rp 96,8 triliun dari target belanja Rp 1.842,4 triliun. Dengan demikian, defisit anggaran hingga kini sebesar Rp 5,3 triliun atau 3,1% dari target defisit anggaran hingga akhir tahun Rp 175,3 triliun.
Arah Pergerakan Rupiah
Bank Indonesia (BI) melaporkan rupiah melemah 0,33% pada Januari 2014. Pada Januari 2014 rupiah ditutup pada level 12.210 per dolar AS. Posisi tersebut melemah bila dibandingkan dengan akhir Desember 2013. Namun pelemahan Januari lebih kecil bila dibandingkan November 2013 yang mencapai 1,71%. Secara rata - rata rupiah pada Januari 2014, tercatat Rp 12.075 per dolar AS, melemah 0,7% lebih rendah dibandingkan pelemahan rata - rata rupiah Desember 2013 sebesar 3,74%. Dengan perkembangan ini maka indeks nilai tukar rupiah riil efektif (real effective exchange rate - REET) dengan tahun dasar 2006 tercatat 94,2 sehingga tingkat daya saing harga Indonesia relatif tinggi.
Sementara itu, aktifitas pasar uang baik rupiah maupun valas semakin berkembang dinamis dengan volume transaksi yang meningkat dan premi resiko seperti tercermin pada credit default swap yang menurun. Hal ini tidak lepas dari langkah - langkah BI untuk pendalaman pasar keuangan termasuk swap lindung nilai dan repo antar bank dengan mini MRA. Ke depan diharapkan BI tetap konsisten menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya didukung dengan berbagai upaya meningkatkan pendalaman pasar valas. Penggunaan rupiah untuk transaksi di di dalam negeri sesuai UU mata uang dan perluasan instrumen lindung nilai dalam transaksi valas terus disdorong.
Pada pertengahan Februari 2014, nilai tukar rupiah menguat 0,40%. Rilis data Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pekan ini jadi katalisnya. Berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), dalam sepekan terakhir rupiah menguat 50 poin (0,40%) ke posisi 12.176 per 7 February 2014 dibandingkan akhir pekan sebelumnya 12.226 pada 30 Januari 2014.
Laju nilai tukar rupiah berbalik ke zona hijau sepanjang pekan terakhir. Rilis pelemahan data manufaktur China di akhir pekan sebelumnya dan di awal pekan kemarin memberikan sentimen negatif bagi laju pergerakan sejumlah mata uang emerging market, termasuk rupiah yang masih dalam pelemahannya meski terbatas.
Sementara pergerakan poundsterling dan Won yang terdepresiasi terimbas rilis perlambatan kegiatan manufactur di Inggris dan China serta masih adanya imbas tapering off The Fed turut melemahkan laju rupiah. Akan tetapi, hal itu dapat diimbangi oleh rilis surplusnya neraca perdagangan Indonesia senilai USD 1,52B dan rilis inflasi 1,07% secara bulanan.
Data dalam negeri, masih dianggap wajar karena secara historis memang ada kenaikan di bulan Januari. Laju rupiah dapat terapresiasi tipis meski laju euro dan yuan China berbalik turun seiring kabar yang beredar bahwa ECB kemungkinan akan menambah stimulus untuk menumbuhkan perekonomian Zona Euro. Keputusan RBA yang mempertahankan RBA Rate di level 2,5% membuat mata uang dolar Australia terapresiasi dan naiknya beberapa mata uang emerging market pasca pernyataan Presiden Brazil, Roussef, yang berkomitmen menurunkan harga untuk meredam tingginya inflasi turut berimbas pada laju rupiah. akibatnya, pelemahan rupiah pun dapat tertahan.
Laju rupiah masih melanjutkan apresiasinya pasca dirilisnya data Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. PDB 2013 tumbuh sebesar 5,78% dibandingkan tahun 2012 sebesar 5,62%. Sementara konsensus 5,3%. Pelaku pasar juga merespon positif kenaikan PDB per kapita tahun 2013 mencapai 36,5 juta dibandingkan PDB per kapita 2012 yang mencapai Rp 33,5 juta. Padahal, terdapat sentimen negatif di mana laju Euro melemah pasca dirilis pelemahan penjualan rilis zona Euro.
Sejumlah pengamat meyakini, nilai tukar rupiah diprediksi menguat pada 2014. Syaratnya, arus modal asing masuk deras. Diperkirakan arus modal asing akan datang deras setelah pemilu usai pada tahun ini dan sudah ada kepastian presiden Indonesia terpilih. Pelaku pasar juga merespon positif kenaikan PDB per kapita tahun 2013 mencapai Rp 36,5 juta dibandingkan PDB per kapita 2012 yag mencapai Rp 33,5 juta. Padahal, terdapat sentimen negatif di mana laju Euro melemah pasca dirilis pelemahan penjualan ritel zona Euro.
Selain itu, sentimen positif juga datang dari serapan lelang SUN yang mencapai Rp 15 triliun dari target indikatif Rp 10 triliun. Apresiasinya rupiah juga terbantukan dengan penguatan Euro setelah European Central Bank (ECB) akhirnya memutuskan untuk menahan diri dari rencana penambahan stimulus dan kabar positif dari BoJ yang berencana memperluas pemberian stimulus moneter lebih lanjut.
BI yang mempertahankan suku bunga acuan di level 7,5% menunjukkan fundamental ekonomi domestik stabil dan berdampak ke penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Fundamental ekonomi domestik yang kondusif juga terlihat dari cadangan devisa Indonesia yang naik menjadi USD 100,651 miliar pada Januari 2014. Posisi cadangan devisa di atas USD 100 miliar itu membuat psikologis pelaku pasar keuangan domestik baik, itu juga yang membuat transaksi rupiah menguat.
Diperkirakan untuk jangka menengah pergerakan rupiah masih tetap kondusif terhadap dolar AS meski dibayangi sentimen dari pengurangan stimulus keuangan (tapering off) bank sentral AS (The Fed). Adanya kepastian The Fed yang komitmen untuk tetap menjalankan kebijakan moneter longgarnya membuat pasar stabil.
Dari eksternal, data AS yang di luar estimasi mendorong sentimen minat terhadap aset beresiko (risk appetite) dapat meningkat seperti nilai tukar mata uang. Data - data AS yang kurang positif itu menimbulkan asumsi bahwa Bank Sentral AS masih akan memberikan pelonggaran stimulusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar